Ruang Tunggu Sepeda di lampu bangjo Jogja

Mungkin sudah hampir sebulan ini ada tambahan RUANG TUNGGU SEPEDA di beberapa lampu bangjo / lampu traffic light di Jogja,  yang jelas saya tahu ada di depan Bank BNI di dekat kantor post besar Jogja.

Memanjakan pemakai sepeda

Fungsinya adalah untuk tempat khusus sepeda yang berhenti di lampu bangjo, dan sepeda motor tidak boleh melanggar area ini, nantinya akan ada peraturan dan sangsi denda jika sepeda motor melanggar area ini.

Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah para pengendara sepeda onthel mau memakainya, sebab selama ini menurut yang saya lihat, kalau pengendara sepeda di kota yang sudah pengalaman, mereka mencari celah-celah untuk maju sampai hampir di tengah, tapi posisinya aman dari arah lawan, begitu kondisi iddle, para pengendara sepeda itu langsung tarik, baru kemudian kita-kita yang memakai motor juga narik saat lampu hijau. Dengan kebiasaan seperti itu, kita sudah hapal dan memang itu tidak mengganggu kok.

Mulai kusam, lama-lama bisa ilang gambarnya

Nah justru mungkin malah bermasalah jika dibayangkan arena RUANG TUNGGU SEPEDA itu benar-benar terisi penuh oleh sepeda onthel, lalu belakangnya baru motor dan mobil. Saat lampu ijo pasti pengendara motornya akan gerundelan menunggu sepeda onthelnya yang lelet nariknya. Apalagi yang pakai Ninja250r, Satria FU, F1ZR dan motor2 kenceng lainnya, terpaksa pasrah nunggu sepeda lewat duluan 🙂

Perempatan depan kantor pos besar difoto dari arah barat

Mungkin nanti lampu bangjonya di modif, jadi untuk sepeda lebih awal 5-10 menitan, baru kemudian Motor dan mobil, sehingga ada cukup waktu bagi sepeda untuk menjauh lebih dulu dari kejaran motor dan mobil.

Gedung BNI 46 dan gedung Kantor Pos Besar dikejauhan

Untuk konsekwensinya, maka sepeda harus berhenti di tempat tersebut, yang bablas pas lampu merah ya harus ditilang.

Jadi kita tunggu saja kisah selanjutnya.

perubahan kecil yang membingungkan dari absolut revo honda

Kebetulan mertua saya beli motor baru, honda absolut revo. Dan saya berkesempatan juga menjajalnya, tapi ada sesuatu yang agak aneh saat saya memakainya, yaitu saat mau membunyikan klakson atau mau mengaktifkan lampu riting saat mau belok, kok sering salah pencet, maunya mencet klakson, malah mencet lampu riting, dan sebaliknya. Jadinya lucu saat papasan dengan kenalan dan kenalan memberikan bunyi klakson, eh saya membalasnya malah kacau.

Panel kiri honda absolut revo, klakson di tengah.

Selidik punya selidik ternyata tata letak lampu ritingnya dan klakson di absolut revo memang terbalik dari motor yang selama ini saya pakai, yaitu honda karisma dan honda supra fit milik istri, istri saya saat memakainya juga kagok seperti saya.

Panel kiri honda karisma, klakson di bawah, kebalikan dg abs revo 🙁

Jadi saat saya memakai absolut revo, untuk membunyikan klakson atau untuk riting saat mau belok, harus mikir, biasanya saat pakai karisma atau suprafit kan sudah pakai naluri 🙂

Perubahan yang sepertinya sepele tapi membingungkan konsumen/pemakai yang awalnya sudah memakai karisma atau suprafit. ono-ono wae.

kabel telkom mlebu neng nDESOKU :)

Sempat kaget juga ketika tanggal 16 Desember 2009 saya melihat ada deretan tiang telepon baru, berjejer sampai di desaku. Jarak kampungku ke tiang telepon terdekat adalah sekitar 2 KM. Sebenarnya sejak tahun 70an pun tiang telepon itu sudah ada, setahu saya dari arah Godean munuju arah Sedayu, tapi ya itu dulu kan telkom itu monopoli banget, sudah begitu tidak juga expansi jaringan kabelnya walaupun banyak yang daftar untuk bisa menikmati telepon rumah telkom.

Tiang Telkom, 5 meter dari pekarangan bapakku

Pada perkembangannya telkom di tahun 1990an malah mengembangkan WLL (wireless local loop), seperti seluler jaman sekarang ini tapi masih lebih primitif teknologinya, masih pakai FM kalau saya tidak salah, sehingga kapasitasnya juga terbatas, kalau hujan sepertinya suara jadi kemresek. Bentuk antenna WLL ini hanya seperti tiang listrik, bukan seperti BTS selular jaman sekarang yang berujut tower kaki tiga atau kaki 4. Tapi WLL ini rupanya merupakan produk gagalnya telkom dan akhirnya berlanjut ke CDMA yaitu flexi, nah pelanggan WLL setahu saya dimigrasi jadi pelanggan flexi.

BTS WLL Telkom (teknologi sebelum flexi CDMA)

jalan neng kampungku 🙂

Di era Orde Baru telkom memang melenggang sendirian sampai adanya AMPS dan akhirnya ada GSM sekitar tahun 1998.  Sebelum tahun tersebut pengusaha WARTEL seperti punya tambang emas, tahu sendirilah, hanya orang-orang tertentu yang bisa mendirikan WARTEL saat itu. Saya punya nomer mentari satelindo bulan Mei 1999 dan masih saya pakai sampai sekarang, tapi saya ubah jadi matrix indosat. Jika mengingat saat-saat tahun 1999-2001 saat itu hanya sekitar 3 oran g di desaku yang punya HP, dan HPku jadi langganan untuk di bell tetangga-tetangga yang merantau dan ingin bicara dengan keluarganya di kampungku, jadilah aku sering kesana kemari memberikan fasilitas telpon gratis via HPku.

Tiang ini dipasang 1 Muharram 1431 H, Jumat Kliwon sekitar jam 9 pagi

Balik lagi ke TELKOM. Saat telkom memasang tiang kemarin, rupanya orang-orang tua saja sudah pada alergi dengan telepon rumah, orang-orang tua seangkatan ayah saya rupanya melek teknologi juga. “yo luwih praktis nganggo HP, opo nganngo flexi” kata bapakku. “jare yen ngannggo telpon rumah biayane sok membengkak” kata mertuaku yang kebetulan kemarin datang kerumah. Mungkin maksud mertuaku itu, dia dapat cerita temannya yang harus bayar jutaan karena telpon rumahnya dipakai untuk telpon kuis atau telepon premium lainnya.

prapatan Menulis, dulu tiang telkom terdekat dari kampungku

Saya tahu orang -orang telkom bukanlah tanpa rencana dalam menggelar kabelnya di desaku. Tentu mereka tidak akan jualan voice sebagai jualan primer, tapi kalau saya duga Telkom akan jualan paket DATA bonusnya VOICE, artinya telkom mungkin akan menawarkan DATA KECEPATAN TINGGI yang bisa untuk internetan, untuk video streaming, untuk TV CABLE, dan bonusnya bisa untuk telepon suara 🙂

Saya belum baca-baca situsnya telkom yang kemungkinan adanya tawaran layanan seperti itu, tapi saya yakin nilai psikologis di desa adalah antara 75ribu sampai 100ribu per bulan saya yakin orang-orang di desaku akan tertarik untuk langganan DATA bonus SUARA, bisa nonton TV Kabel, bisa Internetan, bisa telepon.

Kabel sudah dipasang tanggal 21 Desember 2009

Bagaimanapun saya sangat apresiasi kepada langkah telkom ini, rupanya telkom berguru pada Telkomsel yang dulu getol menggelar BTS duluan, sehingga pelanggannya lebih banyak dan menjadikan telkomsel terbesar saat ini di tanah air. Nah jika telkom lebih dulu menggelar kabel sampai pelosok-pelosok desa yang potensial secara ekonomis, maka kemungkinan menguasai pangsa pasar TV Kabel dan internet rumahan akan bisa disabet oleh telkom. Di jogja sendiri yang saya tahu untuk TV kabel ada JogjaMediaNet, tapi hanya perumahan elit saja yang dijamah oleh Jogjamedianet.

Akan menarik jika ada alternatif TV kabel yang lebih tahan gangguan cuaca, tidak perlu antena luar, dan tentunya memang sudah digital yang artinya gambar dan suara lebih baik dari tv yang dari pemancar teresterial analog saat ini. Suatu saat mungkin TV Teresterial akan musnah karena seleksi alam, maaf saja, hanya orang yang menghendaki tv gratis saja yang masih butuh tv teresterial.

Akhirnya selamat datang kabel telkom di ndesoku 🙂

Kabel dan Terminal BOX sudah dipasang

Update 20 Desember 2009

Tadi jam 16:30 kabel telah dipasang, berhubung saya pas buru-buru, tidak sempat lihat-lihat dan tanya-tanya. Cepat benar ini menggelar jaringan, semoga nanti ada penawaran menarik.

Malioboro TV & J-TV mau pakai kanal berapa di Ngoro-Oro?

Tanggal 1 Desember 2009, saya mendapat kabar dari satpam saya bahwa di bekasnya Tower TATV ada instalasi pemancar lagi, dan katanya itu Malioboro TV yang bekerja sama dengan JawaPost tv yang berbasis di Surabaya. Tanggal 2 Desember 2009 di KPID DIY saya mendengar sendiri perwakilan MalioboroTV memberitahukan bahwa mereka memang instalasi pemancar di bekas pemancar TATV di Ngoro-Oro, Patuk, GunungKidul.

Yang saya tidak habis pikir, dulu TATV terpaksa pindah ke boyolali, karena TATV di Ngoro-Oro memakai kanal 50 UHF yang sejatinya itu milik area Magelang/Jateng.

Kanal UHF di Jogja sendiri yang berjumlah 14 sudah habis, terakhir dipakai oleh ADITV, tv milik muhammadiyah.

Nah pertanyaannya saya yang belum terjawab adalah, nanti MalioboroTV mau pakai kanal berapa? Sebenarnya SUNTV milik grup MNC juga setahu saya sudah intallasi pemancar juga di komplek pemancar RCTI Ngoro-Oro, tapi tetap saja terkendala tidak adanya kanal.

OK. nanti akan saya tahu cari jawabnya.

update 9122009

Ternyata sejak tanggal 5 Des 2009 Malioboro TV talah melakukan siaran percobaan memakai kanal 52 UHF, kemungkinan memakai pemancar dengan power 5 KW, yach cukupan lah untuk kisaran kota jogja dan klaten-solo.

Yang saya belum paham, dulu TATV memakai kanal 50 UHF saja disuruh pindah, lhah ini MalioboroTV pakai kanal 52 UHF yang sama-sama milik Magelang, Temanggung yaitu mulai dari 50, 52, 54, 56, 68, 60, dan 62. Kalau seperti itu kemarin mengapa pada rebutan kanal 44 UHF, jika memakai kanal 50-62 saja bisa?

Kita nantikan saja lagi apa yang akan terjani nanti.

Update.

Sepertinya siaran Jtv hanya bertahan seminggunan, benar prediksi saya, tetap saja JTV tidak bisa siaran karena masalah kanal frekuensi.

Menunggu Implementasi TV berjaringan di DIY

KPID DIY, 2 Desember 2009, 10:00

Saya hadir dalam diskusi dengan tema seperti judul tulisan saya diatas di KPID DIY.

Diskusi di KPID DIY

Di Blog saya ini saya akan keluar jalur dari diskusi diatas. Saya menulis menurut pendapat dan pandangan saya pribadi bahwa TV harus berjaringan dan harus bermuatan lokal itu implementasinya akan sulit.

Pola Pikir (sumber makalah Ki Gunawan)

Menurut pendapat saya, sebenarnya akar permasalahan dari adanya peraturan tv harus berjaringan adalah karena setelah reformasi banyak sekali di daerah-daerah para pengusaha yang mendirikan TV lokal, tetapi karena kanal frekuensi terbatas dan itu sudah duluan dipakai oleh TV Jakarta (TV Nasional), maka tv-tv lokal tersebut tidak bisa berbuat banyak, akhirnya salah satu jalan keluarnya adalah dengan memakai undang-undang bahwa frekuensi itu adalah milik atau kekayaan daerah, dan harus dikuasai oleh orang daerah.

IPP ISR (sumber tvOne)

Masalah ini terjadi karena saat memakai mode pemancaran teresterial analog saat ini, maka satu kanal frekuensi hanya dapat dipakai oleh satu pemancar tv analog. Sesungguhnya solusi dari masalah ini sudah ada, yaitu sistem penyiaran teresterial digital atau lebih dikenal sebagai DVB-T, Digital Video Broadcasting-Teresterial.

Jadi sekarang sebenarnya tinggal menguji niat, kesungguhan dan keberanian tv-tv yang baru tersebut, apakah memang mau siaran beneran atau sekedar mendirikan tv untuk nantinya disodorkan/ditawarkan kepada tv Jakarta untuk bekerja sama ber SSB (bahasa bisnisnya dijual ke tv Jakarta yang akan siaran di daerah).

Kalau memang niat 100% untuk siaran, maka solusinya adalah langsung siaran bareng dengan mode digital saja, karena mode digital ini untuk satu pemancar bisa menampung 6 sampai 8 siaran tv sekaligus, sehingga langkahnya sebagai berikut; misal ada 6 televisi lokal baru, atau dalam hal ini disebut dengan Content Provider, jadi hanya mengurusi konten/isi siaran saja, dalam hal ini keenam tv lokal tersebut masing-masing harus punya IPP (Ijin Penyelenggaraan Siaran), lalu keenamnya bisa saja bergabung membuat perusahaan peyiaran digital secara patungan, dan dalam hal ini perlu ijin ISR (Ijin Siaran Radio) untuk memancarkan siarannya,  ini hanya satu saja ijinnya. Setelah semua ijin diperoleh, maka tinggal mendirikan satu tower pemancar dan hanya butuh satu mesin pemancar digital untuk dipakai bersama dari keenam tv lokal yang baru tersebut.

Disinilah dimulainya persaingan yang sesungguhnya, masyarakat diberikan edukasi mengenai adanya enam tv lokal  baru dengan mode digital, dan mode digital ini, gambar dan suaranya lebih bagus kualitasnya dari pada tv analog yang sekarang biasa dinikmati, mungkin sebagai langkah awal keenam tv lokal tersebut juga memberikan Set Top Box gratis misal 4.000 STB, yang diberikan secara acak. Saya dengar kabar terakhir, harga STB sudah ada yang Rp. 150.ooo,00 per buah. STB ini berfungsi menangkap siaran digital lalu diubah ke analog agar bisa dilihat di tv analog yang sudah dimiliki pemirsa selama ini.

Jadi mempercepat penggunaan teknologi digital DVB-T adalah solusi yang fair dalam mengatasi kemelut tv jaringan dan konten lokal. Sekarang hitung-hitungannya seperti ini.

Biarlah TV Nasional yaitu TPI, RCTI, GLOBALTV, TRANS7, TRANSTV, TVONE, ANTV, INDOSIAR, SCTV, METROTV  yang berjumlah 10 buah, tetap siaran sebagaimana mestinya, karena mereka bagaimanapun juga datang duluan, ada lebih dulu, dan punya insfrastruktur dan SDM di tiap daerah, tetapi juga tetap secepatnya didorong untuk memakai DVB-T dalam pancarannya di semua daerah.

Sekarang kita hitung kapasitas pemancar tv digital, yaitu dalam suatu area, misal area Yogyakarta, hanya diperbolehkan ada 4 perusahaan penyiaran radio/pemancar dalam mode digital, jika untuk satu pemancar bisa menampung 8 siaran tv secara bersama-sama, maka hasilnya adalah 32 TV bisa siaran bareng dalam satu wilayah, nah karena tadi TV Nasional hanya ada 10 buah, sehingga jika dalam satu daerah itu TV Nasional dan TV Lokal siaran bareng, maka jatah untuk TV lokal masih ada 22 buah lembaga penyiaran lokal. Jadi masih adanya slot untuk tv lokal yang 22 buah saya rasa sudah fair, sudah 1 berbanding 2, ini belum ditambah TVRI daerah, dan juga mungkin tv komunitas lokal nantinya.

SSJ : 28 Desember 2009???? (sumber tvOne)

Bagaimanapun masyarakat butuh TV Nasional yang beritanya menyeluruh seluruh NKRI, jadi dalam hal ini “lokal”nya TV Nasional itu adalah NKRI.

Masyarakat juga butuh TV LOKAL, misal TV lokal Jogja, jadi isi siarannya lingkup lokal dan budaya Jogja.

Masyarakat  juga butuh TV internasional, yang meliput seluruh berita internasional.

Sebenarnya sekarang ini dengan langganan internet berkecepatan tinggi >256 kbps, kita bisa dengan nyaman melihat TV Streaming dari belahan dunia manapun, dunia maya/internet sudah meniadakan batasan-batasan negara dan wilayah, tetapi kita masih ngotot dengan batasan lokal dan nasional.

Ingat besok penyiaran tv akan dibagi dua, yaitu Content Provider yang hanya fokus dalam isi siaran, dan kedua adalah SERVICE PROVIDER yaitu penyedia perangkat siar. Padahal dalam sistem digital ada 4 mode, yaitu DVB-S yang lewat satelit, DVB-H yang lewat HP, DVB-C yang lewat media kabel, jadi langganan tv kabel. Terakhir DVB-T yaitu free open air, artinya siaran digital gratis lewat pemancar digital. Semua tv jakarta yang siaran saat ini sebenarnya sudah DVB-S, jadi anda yang punya parabola dan receiver digital berarti sudah melihat TV digital via satelit, biasanya yang punya adalah penduduk yang tidak terjangkau siaran teresterial biasa. Jadi nantinya bisa saja misal tvOne siaran juga melalui DVB-H, dan DVB-C. Hampir lupa lewat internet sebenarnya seperti tvOne sudah lama bisa diakses diseluruh dunia, asal tersambung internet dengan kecepatan yang dipersyaratkan, nah apakah yang seperti ini juga harus dibatasi dengan aturan macam-macam?

Harusnya batasannya adalah apakah acara itu bermanfaat, mendidik, tidak melanggar hukum agama, hukum adat, dan budaya? Walaupun ini juga susah juga, karena agama yang mana? adat yang mana? budaya yang mana? mendidik yang seperti apa?

Akhirnya kita tunggu saja akhir dari SSB (Sistem Siaran Berjaringan) ini nantinya akan seperti apa.

Sebagai info tambahan, MaliobroTV bekerjasama dengan J-tv (JawaPostTV yang berbasis Surabaya), telah instalasi pemancar di Ngoro-Oro pada bekasnya gedung, dan tower milik TATV dulu, yang saya masih tanda tanya, mereka nanti mau onair dengan frekuensi berapa? karena TATV yang memakai frekuensi 50 UHF milik Jateng/Magelang, akhirnya harus keluar dari Ngoro-Oro Patuk GunungKidul, pindah ke Boyolali.

%d bloggers like this: